• This is default feature

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • Barbar

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kharomah Mbah Muqoyyim


Saya Aniqul fikar menulis di blog ini tentang kharomah mbah muqoyyim. Mbah muqoyyim yaitu salah satu ulama kharismatik yang merupakan pendiri buntet pesantren Cirebon. Jawa barat. Mbah muqoyyim merupakan keturunan bangsawan dari kesultanan Cirebon, dia di lahirkan di desa krangkeng, karang ampel, indramayu pada tahum 1689. Pada saat itu kesultanan Cirebon pasca mangkatnya pangeran grilaya pada 1662 M, Kesultanan Cirebon pun terpecah menjadi beberapa bagian.
Mbah muqoyyim menulis beberapa buku tentang fikih, tauhid, dan tasawuf yang di kirim pada sultan kanoman agar di jadikan buku pegangan bagi para pembesar keraton dan rakyat Cirebon. Konon menurut cerita Mbah muqoyyim sering mengunjungi tempat-tempat yang pernah di singgahi syekh yusuf al-makasari, menantu sultan ageng tirtayasa, konon di tempat-tempat itu beliau bertemu dan berdiskusi dengan pengganti atau murid syekh yusuf. Maka tak mengherankan bila beliau di angkat menjadi mufti. Selain itu, beliau juga di kenal sakti tetapi tetap rendah hati kepada siapapun, beliau sangat mengedepankan akhlakul karimah.
Konon salah satu kharomah nya yaitu bisa membendung dengan hanya seutas tali benang, hal ini di lakukan pada saat beliau mengikuti sebuah sayembara di desa setupatok. Sayembara ini di keluarkan oleh kyai entol rujitnala, kyai entol rujitnala adalah seorang yang di kenal sakti tetapi selalu gagal dalam membuat bendungan yang menahan aliran air dari sungai nanggela sehingga daerah setu selalu kebanjiran bila musim hujan datang kemudian kyai entol mengadakan sayembara dimana isi sayembara tersebut yaitu barang siapa yang dapat membendung aliran sungai nanggela akan di nikahkan dengan putrinya yang bernama landu lawang. Mbah muqoyyim lalu mengikuti sayembara tersebut tapi dengan niat kemanusiaan yaitu mengatasi banjir. Meski demikian sesuai dengan sifatnya yang rendah hati, dia juga tidak ingin mempermalukan penyelenggara. Caranya, sementara beliau melakukan tugasnya untuk membangun bendungan, di minta nya kyai entol untuk berdoa lalu seutas benang yang di keluarkan dari jubahnya, di bentangkan di beberapa titik yang akan di bangun bendungan. Kemudian, dengan sekali hentakan terciptalah bendungan itu lengkap dengan batu yang kokoh. Sejak saat itu, penduduk setu terhindar dari banjir.
 Mbah muqoyyim yang merupakan seorang mufti kerajaan marah, lalu karena nasihatnya kurang di perhatikan oleh keraton, akhirnya mbah muqoyyim pun mengundurkan diri dan meninggalkan keraton kanoman. Kemudia beliau mendirikan pesantren di buntet yang berjarak 12km dari keraton. Alasannya, karena di buntet di jadikan padepokan oleh syekh syarif hidayatullah atau yang biasa di sebut sunan gunung jati pernah mendirikan sebuah padepokan. Buntet pesantren ini kemudia di jadikan sebagai pusat penyebaran agama islam dan basis perlawanan kultural terhadap belanda. Mbah muqoyyim ingin bergerak di bidang Pendidikan mental dan spiritual agar dapat mudah mengajarkan ajaran agama islam dengan tenang dan menyikapi situasi dengan jernih, Pendidikan mental akan memberikan motivasi yang kuat bagi para santri untuk tidak tunduk pada penajajah belanda.
Mbah muqoyyim berhasil menyelamatkan diri di pesawahan sindanglaut tempat tinggal adiknya dan di sana juga beliau mendirikan sebuah masjid, menurut cerita ketika beliau membangun masjid tersebut dengan kharomah Allah SWT,  beliau hanya menggunakan dengan sebuah sebatang pohon jati yang banyak tumbuh di sekitar tempat tinggal nya, sehinggal tempat asal pohon tersebut di kenal hingga sekarang dengan sebutan Jatisawit. Usai membangun sebuah masjid beliau pun kemudian membangun sebuah pesantren pesawahan

Share:

Masjid Agung Buntet Pesantren


        Saya Aniqul fikar menulis pada blog ini sesuai dengan hasil observasi tentang Masjid Agung Buntet Pesantren. Menurut cerita nama buntet berasal dari peristiwa penculikan raja galuh bernama puteri dewi arum sari oleh Jin buto ijo saat berbulan madu Bersama suaminya pangeran legawa, putra Ki Ageng Sela, Puteri Ayum Sari sedang mandi tiba-tiba di culik oleh Jin buto ijo dan di bawa ke hutan karendahwa, setelah berhasil membawa puteri dewi arum sari mereka hendak kembali pulang ke istana. Pangeran legawa teryata tersangkut akar pohon duku sehingga keduanya terjatuh, anehnya setelah peristiwa tersebut pangeran legawa dan puteri dewi arum sari tidak mengetahui arah jalan pulang, setelah kelelahan mencari jalan pulang pangeran legawa dan puteri dewi arum sari memutuskan untuk tinggal di wilayah tesebut dan membuat pesanggrahan dengan nama buntet atau buntu.
Berdasarkan sejarah berdirinya masjid buntet pesantren pada tahun ( 1758 ), maka masjid buntet juga di bangun pada waktu yang sama yaitu pada abad ke-18M. Masjid merupakan tempat sentral dakwah dan merupakan unsur pokok pesantren, buntet sebagai salah satu pesantren tertua juga tak lepas dari sejarah pendirian masjidnya. Masjid Agung Buntet Pesantren merupakan petilasan dari Syekh Syarif Hidayatullah atau yang di kenal sebagai Sunan Gunung Jati. Melihat sejarah Buntet Pesantren, K.H. Abdul Hamid Anas menyebut jika Buntet Pesantren sebagai buq’atun mubarokah, desa yang di berkahi. Beliau pun berpesan kepada ketua dewan khidmat masjid K.H. Ade Nahisul Umam agar menamai masjid tersebut sebagai Masjid Agung, sebab keberkahan nya menjadi petilah Syekh Syarif Hidayatullah.
          Masjid Agung Buntet Pesantren memiliki arsitektur yang sangat unik yaitu pada saat hendak memasuki masjid tersebut jamaah harus menaiki lima anak tangga, konon menurut cerita ini sebagai symbol rukun islam, masjid yang terletak di tengah wilayah pondok buntet pesantren itu memiliki dua kamar mandi yang berarti dua kalimat syahadat. Dalam masjid ini juga terdapat Sembilan pintu sebagai lambang walisongo, ruangan di dalem pintu Sembilan itu di desain memuat 99 orang sebagai simbol asmaul husna, selain itu keunikan lainnya terdapat pada atapnya yang terdiri dari tiga angkatan, yaitu menandai tingkatan beragama, iman, islam, dan ihsan. Model atapnya hamper mirip dengan masjid demak, model demikian juga sebagai wujud akulturasi budaya karena kemiripan nya dengan hindu.
          Terdapat sebuah tradisi empat kali dalam setahun, yaitu melakukan genjringan pada maulid Nabi Muhammad SAW tepat pada malam 12 Rabiul awal, Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW tepat pada malam 27 rajab, Khatmil Qur’an pada malam tanggal 15 Ramadan, dan Khatmil Qur’an pada malam 28 dan 29 Ramadan. Gelaran pertama di dahului dengan pengajian kitab al-barzanji, kitab tersebut di baca secara bergantian oleh tujuh kyai selama tiga hari, puncaknya, pada hari keempat tepat pada malam 123 Rabiul Awal seluruh kyai dan santri berkumpul marhabanan. Usai bermahabanan barulah genjringan di tabuh hingga tengah malam. Gelaran kedua di awali dengan pengajian kitab Qisshat al-mi’raz kita ini juga di baca selama tiga hari oleh tujuh kyai yang telah di tunjuk oleh DKM.
          Pendiri pesantren :
1.     Kyai Mutt’ad ( 1785-1852 )
2.     Kyai Abdul Jamil (1842-1919 )
3.     Kyai Abbas ( 1879-1946 )
4.     Kyai Mustahdi Abbas ( 1913-1975 )
5.     Kyai Mustahdi Abbas ( 1975-1988 )
6.     Kyai Abdullah Abbas ( 1988-2007 )
7.     Kyai Nahludin Abbas ( 2007- …...)

Share:

Perjuangan Mbah Muqoyyim


Saya Aniqul fikar menulis pada blog ini sesuai dengan hasil observasi tentang Mbah muqoyyim merupakan keturunan bangsawan dari kesultanan Krangkeng, Karang Ampel, Indramayu 1689. Mbah muqoyyim itu ayahnya dari sultan keraton kesepuhan, ibunya dari krangkeng, imdramayu. Pada saat itu mbah muqoyyim menjadi kadi di keraton Cirebon untuk menggantikan ayahnya namun mbah muqoyyim keluar dari keraton kasepuhan di karenakan pada masa itu keraton kasepuhan bekerja sama dengan Belanda beliau tidak suka dengan pemerintahan yang di berlakukan oleh belanda dan merasa tidak cocok. Akhirnya beliau pergi dari keraton kasepuhan dan mendirikan sebuah pesantren di buntet yang sekarang di kenal sebagai buntet pesantren Cirebon.
          Awal mula perjuangan mbah muqoyyim itu pada saat keluar dari keraton kasepuhan, mbah muqoyyim begitu benci terhadap belanda karena terus menindas, memeras, dan menyengsarakan rakyat. Mbah muqoyyim pun kemudia pergi ke bagian timur selatan Cirebon mencari tempat yang akan di gunakan untuk mengembangkan syiar islam di Cirebon, di desa kedungmalang atau yg sekarang di kenal dengan buntet kecamatan astanajapura. Kemudian  berpikir untuk mendirikan pesantren di buntet menurut cerita mbah muqoyyim melakukan pertapaan dan puasa selama 12 tahun yang di bagi menjadi 4 tahun puasa untuk tanah sekitarnya, 4 tahun untuk anak cucu nya, 4 tahun untuk para santrinya. Menurut cerita mbah muqoyyim buka puasa dan sahur dengan menggunakan dedaunan pucuk daun muda selama 12 tahun itu, maka kata mbah muqoyyim anak buntet pesantren itu anak penuh berkah.
          Perjuangan nya menurut cerita mbah muqoyyim pernah di kejar-kejar belanda, kemudian mbah muqoyyim lari ke malang di daerah beji. Ketika mbah muqoyyim di beji, di Cirebon ini terjadi wabah penyakit. Kesultanan Cirebon memanggil mbah muqoyyim, “ Mbah muqoyyim, pulang.” Mbah muqoyyim belum menjawab iya tetapi ada syaratnya menurut cerita syaratnya apa? “ meminta setiap balai desa harus ada masjid.” Belanda menyanggupi dan juga sultan menyanggupi. Jadi, mbah muqoyyim pulang, dengan ijin Allah SWT maka wabah penyakit hilang.
          Kaitan nya dengan mbah ardisela mbah muqoyyim itu join ( bekerja sama ) berjuang. Apa joinan berjuang nya? Kalau mbah muqoyyim sebagai griliyawan, masuk keluar hutan perangnya kalo nyerang keluar hutan dan kalo di serang masuk hutan. Kerja sama dengan mbah raden ardisela beliau orang berilmu, beliau sebagai wedana kerja di pemerintahan belanda. Belanda tidak tahu bahwa mbah ardisela orang alim, seorang alim ( wali ). Ketika mbah muqoyyim di kejar belanda kemudian lari ke mbah ardisela, mbah muqoyyim di masukan ke kantong nya mbah ardisela sehingga belanda tidak mengetahuinya.
Pada mulanya mbah muqoyyim hanya membangun sebuah rumah yang sederhana di sertai dengan langar dan beberapa bilik. Kemudian mbah muqoyyim menggelar pengajian yang pada akhirnya banyak orang banyak yang mengetahui dan ingin menjadi santri nya, selain mengajarkan tentang agama islam yang mendalam melalui kitab kuning, beliau juga mengajarkan tentang bagaimana bergerak di bidang Pendidikan mental dan spiritual agar dapat mudah mengajarkan ajaran agama islam dengan tenang dan menyikapi situasi dengan jernih, Pendidikan mental akan memberikan motivasi yang kuat bagi para santri untuk tidak tunduk pada penajajah belanda.
Pesantren ini kemudian di jadikan sebagai pusat penyebaran ajaran islam dan basis perlawanan kultural terhadap belanda. Selama di Cirebon, mbah muqoyyim memanfaatkan waktunya untuk membangun kembali pesantren yang berantakan, tapi tuhan berkehendak lain, tidak lama kemudian, di tengah usaha nya untuk menata kembali pesantren buntet, mbah muqoyyim wafat. Perjuangan nya di lanjutkan oleh kyai-kyai sepuh lain nya di antara nya yaitu kyai Abbas Buntet yang juga di kenal memilik karomah dari Allah SWT.

Share:

Sejarah Haul Buntet Pesantren


Saya Aniqul fikar menulis pada blog ini sesuai dengan hasil observasi tentang Haul Buntet pesantren, atau yang nama lengkap nya adalah Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren ternyata merupakan sebuah tradisi yang merentang dalam waktu yang sangat panjang, Haul Buntet sudah diadakan pada masa kepemimpinan Pondok berada di tangan Kiai Abdul Jamil. Kita sudah sama-sama mafhum kalau Pondok Buntet Pesantren didirikan oleh Kiai Muqoyyim yang kemudian kepemimpinannya dilanjutkan oleh Cucu Menantu Beliau yaitu Kiai Raden Muta’ad, sedangkan Kiai Abdul Jamil adalah putra dari Kiai Muta’ad. Dengan kata lain, Haul Buntet sudah ada sejak generasi ke 3 Buntet.
Mengenal Haul suatu Pesantren berarti juga mengenal para Ulama Perintis yang memiliki dedikasi dan semangat juang tinggi untuk Pesantren tersebut. Mengenal Haul Buntet tentu tidak terlepas dengan mengenang para pendiri, para perintis Buntet Pesantren, merekalah Guru-guru Kita, Kakek-kakek Kita yang telah mengorbankan banyak hal demi dakwah islam lewat Pondok Buntet Pesantren.
Putra tertua dari Kiai Abdul Jamil adalah Kiai Abbas, Beliaulah yang kemudian memimpin Buntet Pesantren selanjutnya. Di masa kepemimpinan Kiai Abbas, pecah perang dunia II. Termasuk bagian dari perang tersebut  adalah perang Asia-Pasifik, karena itu Indonesia menjadi salah satu medan perang yang diperebutkan oleh ke dua pihak yang tengah berperang, yaitu Jepang dan Sekutu.  Kiai Abbas kemudian tampil menjadi salah satu “motor” dari gerakan perjuangan tanah air untuk merebut kemerdekaan. Bersama dengan jejaring pesantren Tanah Air, Beliau mengobarkan semangat juang dengan berbagai cara, dari mulai pendidikan, Resolusi Jihad, dan upaya-upaya lainnya. Salah satu upaya yang beliau tempuh untuk mengobarkan semangat juang adalah lewat Haul. Bersama adik-adiknya yaitu Kiai Anas, Kiai Ilyas, Kiai Akyas, dan Kiai Ahmad Zahid, mereka mengadakan Haul dengan tujuan tidak hanya meng’Haul’i Mbah Muqoyyim dan Mbah Muta’ad (seperti Haul di masa Kiai Abdul Jamil) tapi juga seluruh Kiai dan warga Buntet Pesantren yang telah wafat tentunya termasuk abah mereka yaitu KH. Abdul Jamil. Menurut KH. Hasanudin Kriyani,  putra-putra dari KH. Abdul Jamil pertama kali menyelenggarakan Haul pada tahun 1921, hampir satu abad yang lalu. Pada waktu itu, haul juga digunakan sebagai wahana untuk terus menjaga idealisme bahwa Mbah Muqoyyim mendirikan Buntet Pesantren karena tidak ingin kooperatif dengan penjajah dan idealisme itu akan terus dijaga oleh para penerusnya yaitu Mbah Muta’ad dan Kiai Abdul Jamil sehingga itu sangat relevan untuk membangkitkan semangat juang pada masa itu demi mengusir penjajah.
 Sejak Haul di masa kepemimpinan Kiai Abbas tersebut dan sampai sekarang, Haul Buntet bertajuk “Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren”. Sejarah singkat tentang Haul di atas disampaikan oleh Kiai Adib Rofiuddin, Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren pada acara pengukuhan Panitia Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren. Kiai Adib bercerita bahwa kisah tentang Haul Buntet ini Beliau dapatkan langsung dari salah seorang putra dari Kiai Abdul Jamil, yaitu Kiai Ahmad Zahid yang tak lain adalah Kakek Beliau. Kiai Adib berujar Haul di Buntet tidak hanya mendoakan para Sesepuh, tidak hanya mendoakan para Kiai, tetapi juga mendoakan seluruh Warga Buntet Pesantren, karena itu Haul adalah hajat seluruh Warga Pondok Buntet Pesantren, dan tugas kita bersama untuk menjaga dan melestarikannya.
          Haul di Buntet sudah layaknya lebaran kedua bagi masyarakat,santri dan keluarga. Yang berada di perantauan berusaha sebisa mungkin meluangkan waktu untuk pulang, alumni dan orangtua santri juga berdatangan, belum lagi beberapa tamu yang datang secara rombongan menggunakan bus atau angkutan lainnya. Sehingga puluhan ribu orang tumpah ruah pada acara puncak nanti. Tidak hanya keluarga Kyai yang kedatangan tamu, semua warga memiliki tamu yang berkunjung ke rumahnya.

Share:

Sejarah Mbah Muqoyyim


Saya Aniqul fikar menulis pada blog ini sesuai dengan hasil observasi tentang sejarah Mbah Muqoyyim adalah salah satu ulama kharismatik yang merupakan pendiri pesantren buntet Cirebon, Jawa barat. Mbah muqoyyim merupakan keturunan bangsawan dari kesultanan Krangkeng, Karang Ampel, Indramayu 1689. Mbah muqoyyim itu ayahnya dari sultan keraton kesepuhan, ibunya dari krangkeng, imdramayu, ibunya mbah muqoyyim sangat cantik dan anggun menurut cerita. Beliau merupakan cucu daridari Ki lembeh mangku negara warbita yang merupakan santri sultan demak abdul fatah. Ki lebeh juga pernah nyantri ke sunan ampel, sunang bonang dan sunan kalijaga.
          Setelah dewasa, Mbah muqoyyim menggantikan ayahnya abdul hadi sebagai kadi di keraton kanoman. Namun kemudian mbah muqoyyim keluar dari keraton kesepuhan. Kenapa keluar dari keraton kesepuhan? Karena tidak cocok dengan kesultanan kesepuhan, karena bekerja sama dengan belanda. Akhirnya mbah muqoyyim keluar dengan pasukan nya. Pada saat melewati jalan setupatok. Di setupatok sedang mengadakan sayembara untuk membendung tanggul yang selalu jebol, sekitar jaman nya di ponegoro 1846. Barang siapa yang bisa membendung setu ini akan saya nikahkan dengan putri saya. Putri nya sangat cantik sekali lalu mbah muqoyyim dengan pasukan nya mengacungkan tangan. Dengan izin Allah SWT mbah muqoyyim pasang patok, kemudian di glibet ( ikat ) dengan sorban nya sehingga air itu tidak bobolan ( tidak keluar ) makanya sekarang menjadi setupatok.
          Maka tak mengherankan bila mbah muqoyyim kemudian di angkat sebagai mufti. Selain itu beliau juga di kenal sakti tapi rendah hati kepada siapapun. Beliau sangat mengedepankan akhlakul karimah. Kemudian mbah muqoyyim melanjutkan perjalanan ke buntet pesantren melalui daun sela. Di buntet pesantren mbah muqoyyim berkuasa dan wilayahnya mbah muqoyyim dari buntet pesantren sebelah kulon berarti sabrang kulon sampai tanggul sungai sebelah timur. Tak berapa lama, banyak orang berdatangan untuk mengaji ilmu ke mbah muqoyyim.. mbah muqoyyim bertapa di situ selama  12 tahun, 4 tahun puasa untuk tanah sekitarnya, 4 tahun untuk anak cucu nya, 4 tahun untuk para santrinya. Menurut cerita mbah muqoyyim buka puasa dan sahur dengan menggunakan dedaunan pucuk daun muda selama 12 tahun itu, maka kata mbah muqoyyim anak buntet pesantren itu anak penuh berkah.
          Pada saat tersebut pesantren nya di ketahui oleh belanda, khawatir akan pemberontakan belanda pun menyerang pesantren di buntet. Pada saat belanda tiba di buntet, belanda tidak mendapati siapapun di buntet, mbah muqoyyim dan seluruh santri nya mengetahui rencana penyerangan tersebut sehingga mbah muqoyyim berkelana lagi. Pesantren yang sudah tidak berpenghuni tersebut kemudian di hancurkan dan di bakar oleh belanda. Seusai berkelana ke berbagaia daerah, yakni tuk Cirebon, pemalang, dan Aceh.
Mbah muqoyyim di suruh kembali ke Cirebon atas permintaan dari kesultanan Cirebon yang pada masa itu masih bekerja sama dengan belanda untuk mengatasi wabah penyakit, pada saat itu mbah muqoyyim menyetujui untuk pulang ke Cirebon tetapi ada beberapa syarat yang harus di kabulkan oleh kesultanan Cirebon yaitu membawa pulang pangeran kanomana dan mendirikan masjid di setiap balai desa yang berada di wilayah Cirebon syarat tersebut langsung di kabulkan oleh kesultanan Cirebon dan belanda. Akhirnya mbah muqoyyim kembali ke buntet dan merintis kembali pesantren yang sempat di tinggalkan nya selama beberapa tahun.

Share:

Sejarah Singkat Buntet Pesantren


            
Kesempatan kali saya Alifa Fadilatun Nafisa akan menceritakan sejarah singkat Buntet pesantren,Mbah Muqoyyim meninggalkan lima orang putera-puteri, yaitu Kiyai Muhajir, Nyai Sungeb, Nyi Raisah, Nyai Thayyibah, dan Nyai Khalifah. Semua tidak dapat diceritakan dengan leluasa tetapi ada riwayat singkat, bahwa Nyai Khalifah memiliki puteri bernama Nyai Aisyah. Tokoh ini awalnya dinikah oleh Kiyai Jalalain ibn Muhammad Imam ibn Ardi Sela. (pernikahan tunggal buyut). Tetapi tidak memiliki putera. Kiyai Jalalain menikah lagi dengan Nyai Sharfiyah, dan dari pernikahan itu, lahir Kiyai Anwaruddin (Ki Kriyan), Kiyai Kilir, Kiyai Abror, dan Kiyai Muntaha.

       Aisyah bint Khalifah bint Muqoyyim nikah lagi dengan Raden Muta’ad  (1785-1852) ibn Raden Muhammad Muridin ibn Nashruddin, ibn Ali Pasya (Sultan Gebang) keturunan Sunan Gunung Jati. Dari perniakahan itu lahir sepuluh putera puteri, antara lain Nyai Rohilah (istri Ki Kriyan), Kiyai Shalih Zamzami (pendiri Pesantren Benda-kerep), dan Kiyai Abdul Jamil (penerus kiyai Buntet Pesantren). Tiga tokoh besar itu memiliki aktifitas yang berbeda, tetapi memiliki maksud yang sama yaitu membina masyarakat dan mengembangkan agama Islam. 
            
         K.H.Abdul Jamil yang berusia 30 an dinikahkan dengan putri  Kiyai Kriyan yang bernama Sa’diyah, dan tinggal di kompleks Kraton. Karena puteri ini masih kecil, maka K.H. Abdul Jamil dinikahkan lagi dengan Qari’ah bint K.H. Syathari (penghulu landrat Cirebon). Pernikahan K.H. Abdul Jamil dengan Qariah melahirkan 4 putera, yaitu Abbas, Akyas, Anas dan Ilyas, dan 4 puteri yaitu Yaqut, Mu’minah, Nadlrah, dan Zamrud. Sedang pernikahannya dengan Sa’diyah bint Kiyai Kriyan, K.H. Abdul Jamil melahirkan 5 putra, yaitu Syakirah, Mundah, Ahmad Zahid (ayah K.H. Izzuddin Buntet), Nyai Enci dan Halimah.

        Buntet Pesantren mengalami perkembangan yang berliku-liku dari zaman Mbah Muqoyyim sampai zaman kemerekaan. Mbah Muqoyyim adalah pendiri pesantren, tetapi tidak selamanya tinggal di Buntet, karena dikejar-kejar oleh Belanda. Meskipun Mbah Muqoyyim wafat di Buntet, tetapi lembaga ini mengalami fatrah yang lama. Apalagi putera pertama Mbah Muqoyyim sendiri yang bernama Raden Muhajir tidak diketahui ceritanya. Maka Buntet Pesantren perkembangannya ditata ulang oleh Kiyai Muta’ad (w. 1852) ibn Muridin ibn Ali Basya (Pangeran Gebang). Sehubungan Raden Muta’ad menikah dengan Nyai Aisyah bint Khalifah bint Muqayyim, maka dia termasuk keluarga besar Buntet Pesantren. Program Kiyai Muta’ad selain pengamalan Thariqat Syatahriyah juga membentuk majlis ta’lim. Dalam majlis itu Kiyai Muta’ad mengajarkan membaca al-Quran, dan mempelajari beberapa masalah fiqhiyah. Pada waktu itu, baik ayat al-Quran atau masalah-masalah fiqhiyah selalu diajarkan dengan memakai tulisan tangan. Begitu itu karena cetakan al-Quran atau kitab agama belum banyak beredar di Cirebon. Padahal dalam catatan sejarah, Ibrahim Mutafarriqa di Turki sudah mencetak al-Quran dan beberapa kitab klasik (kitab kuning) sekitar tahun 1720 an. Begitu juga pemerintahan Muhammad Ali di Mesir (1769-1849 M) sudah mencetak beberapa judul Kitab Kuning. Karena itu, keperluan belajar al-Quran atau kitab kuning di Buntet dan sekitarnya harus ditulis tangan. Dalam penglolaan Buntet Pesantren seperti itu Kiyai Muta’ad bersama jamaahnya selalu mengamalkan Thariqat Syathariyah untuk wirid sesudah shalat jama’ah maktubah. Berkat amalan itu, Buntet Pesantren mulai hidup lagi, setelah tertata ulang. Kiyai Muta’ad wafat dalam usia 67 tahun dan dikuburkan di Tuk Sindanglaut, berdekatan dengan kuburan Mbah Muqayyim dan Mbah ArdiSela.   
        
      Sesudah Kiyai Muta’ad wafat, Buntet Pesantren dikelola oleh Kiyai Abdul Jamil ibn Muta’ad. Pesantren pada masa itu berkembang lebih pesat, didukung oleh Haji Ali dari Kanggraksan Cirebon mewaqafkan tanah dan dibangunkannya sebuah masjid di atasnya. Tidak hanya itu tetapi di sekitar masjid, disediakan tanah yang disiapkan untuk dibangun pondok pesantren. Maka pada langkah berikutnya Kiyai Abdul Jamil yang dibantu oleh sanak saudara dan masyarakat itu mulai membangun pondok untuk menampung santri yang berdatangan dari luar daerah. Masyarakat tahu bahwa K.H. Abdul Jamil memiliki suara yang bagus dalam membaca al-Quran, maka santri Buntet waktu itu sering disebut ahli qiraat (al-Quran). Pengajian di Buntet Pesantren bukan hanya Qiraat al-Quran, tetapi juga kitab yang membahas ilmu agama. Tokoh-tokoh yang membantu pengajian itu, antara lain K.H. Abdul Mun’im, K.H. Abdul Mu’thi, Kiyai Tarmidzi dan lain-lain. Tidak hanya itu, Kiyai Abdul Jamil bersama masyarakat membangun jalan dan jembatan yang menghubungkan pondok pesantren dengan masyarakat. 

       Bahwa Kiyai Abdul Jamil sepulangnya dari Makkah dipanggil Haji Den Jamil (Raden Abdul Jamil) dan berhasil menghimpun para kiyai di lingkungan keluarganya, haji, saudagar/pedagang dan lain-lain untuk membangun dan menata kembali sarana fisik serta aktivitas pesantren. Pada masa itu, santri Buntet Pesantren putera-puteri mencapai 700 yang datang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Sulawesi, dan Singapore, kata buku itu. Setiap bulan puasa, Pesantren Buntet dikerumuni para santri dari tanah Jawa dan luar Jawa yang mengaji pasaran. Dengan demikian masyhurlah nama Syaikh Abdul Jamil dan Pesantren di Buntet Astanajapura Cirebon.

       Untuk mengantisipasi aktifitas lembaga itu K,H. Abdul Jamil bersama ulama lain mengambil beberapa langkah, yaitu :
(1) Fatwa Ciremai
a). Mengharamkan para santri menjadi pegawai Belanda
b). Mengharamkan bangsa kita berperilaku dan berpakaian seperti Belanda dan bergaya priyayi seperti orang Islam yang bersikap cooperation dengan penjajah Belanda
c) Pembentukan budaya santri yang diisi dengan amalan thariqat
(2) Mengadakan pengajian di beberapa tempat untuk menumbuhkan perasaan jihad fi sabilillah.
(3) Memutuskan :
a) Membentuk santri agar bersikap mandiri dan tidak bergantung pada orang lain
b). Menumbuhkan pesaraan nasionalis dengan doktrin hubb al-wathan min al-iman.
c). Mengadakan latihan fisik, bela diri.
(4) Mengadakan shilaturrahmi kepada kiyai/ulama terutama mereka yang pejuang kemeredekaan.
(5) Gerakan Riyadlah
(6) Mengorganisir pengamal thariqat, untuk ikut berjuang dan membantu berdirinya negara di nusantara ini.

        K.H. Abdul Jamil wafat pada pagi Shubuh hari Selasa tanggal 23 Rabi’ul Tsani 1339 H. Atau tahun 1919 M, dan dikuburkan di Pesarean Buntet Pesantren.   
  
       Setelah K.H. Abdul Jamil wafat, Buntet Pesantren diasuh oleh para putera yang dipimpin oleh Raden Abbas ibn Abdul Jamil. Pada masa kecil, Raden Abbas bersama adik-adiknya diasuh dan dididik oleh ayahnya. Setelah menjelang dewasa, Den Abbas dikirimkan ke Pesantren di Jatisari Weru Plered yang diasuh oleh K.H. Nasuha ibn Zayadi. (Ulama ini ditulis dalam artikel tersendiri). Dalam pesantren ini Raden Abbas mengkhatamkan kitab fiqh dan tawhid, antara lain Fathul Mu’in. Dalam tahun itu pula Raden Abbas belajar juga pada K.H. Hasan di Sukunsari Weru Plered. Kemudian Den Abbas pindah ke pesantren Giren Tegal untuk pelajar ilmu tauhid pada ulama sepuh, K.H. Ubaidah. Kemudian Den Abbas meneruskan belajar ilmu hadits dan ilmu tafsir al-Quran pada K.H. Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng Jombang.

          Sepulangnya dari tafaqquh fi al-diin, Raden Abbas mulai mengelola Pesantren Buntet dan menikah pertama dengan Nyai Hafizhoh. Setelah lahir putera pertama, Raden Abbas berangkat ke Makkah untuk ibadah haji dan mencari ilmu. Dalam kisah ini, Raden Abbas bersama Gus Abdul Wahhab Hasbullah dari Jombang berjumpa dan mengambil barakah dari ulama kharismatik, K.H. Mahfuzh ibn Abdillah ibn Abdul Mannan dari Pesantren Termas Pacitan yang mukim di Makkah. Setelah pulang dan menetap di Buntet, K.H. Abbas pernikahannya dengan Nyai Hafizhoh melahirkan 4 orang putera, yaitu Kiyai Mustahdi, Kiyai Abdul Razak, Kiyai Mustamid, dan Nyai Sumaryam. Sedang pernikahannya dengan Nyai Lanah, K.H. Abbas melahirkan enam orang lagi, yaitu Raden Abdullah ibn Abbas, Nyai Qismatul Maula, Nyai Sukaenah, Nyai Maimunah, Raden Nahdluddin, dan Nyai Munawwarah.

       Meskipun penampilan K.H. Abbas sopan santun, lemah lembut, dan berakhlak mulia, tetapi sikapnya terhadap Belanda keras sekali dan tidak mau kompromi. Semua santri dididik dengan tekun agar mereka anti penjajah, dan berusaha agar Belanda, Jepang, dan semua penjajah bubar dari tanah nusantara tercinta ini. K.H. Abbas juga mambentuk dan memimpin Hizbullah di daerah Cirebon bagian timur. Dia sering melatih santri untuk bela diri, dan mereka disiapkan untuk melawan penjajah jika terjadi pertempuran. 

       Beberapa cerita tentang K.H. Abbas yang bersikap anti penjajah itu luas sekali tetapi andil yang besar bagi kemerdekaan Indonesia adalah dia bersama beberapa tokoh dari Cirebon mengikuti Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asy’ari. Pada tanggal 22 Oktober 1945 para ulama dan santri se Jawa-Madura kumpul di Surabaya untuk merumuskan Resoluis Jihad. Waktu itu para kiyai dan santri sudah berkumpul, maka utusan dari Termas Pacitan usul agar rapat segera dimulai. K.H. Hasyim Asy’ari menjawab : Nanti sebentar lagi teman-teman dari Cirebon akan datang. Mereka adalah K.H. Abbas Buntet, KH. Amin Babakan Ciwaringin, K.H.A. Syathari Arjawinangun, K.H. Syamsuri Walantara, dan empat orang lagi yang penulis belum dapatkan nama-namanya. Apa isi Resolusi Jihad itu? (Buka Google dengan key word Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asy’ari) dan baca semua artikel yang mengiringi tulisan INSISTS itu. Inti Resolusi Jihad adalah kesepakatan para kiyai dan santri untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dan segalanya diatur oleh bangsa Indonesia sendiri. 

         Sementara Belanda dan sekutu Barat tidak senang munculnya kemerdekaan negara-negara jajahan seperti itu. Mereka menggalakkan perang dengan mengerahkan pasukan tempur yang kuat sekali untuk menghabisi kekuatan bangsa Indonesia. Maka terjadilah perang 10 November 1945 itu. Bahwa perang ini meskipun waktunya tidak lama, tetapi beban santri dan komunitas ahli thariqat menilai lebih berat dari pada Perang Kedongdong (1802-1806), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Imam Bonjol (1831-1838), Perang Tengku Umar di Aceh (1873-1908), dan perang-perang lokal lainnya. Semua perang-perang tadi, santri dan bangsa kita hanya menghadapi Belanda, sedang perang 10 November 1945 santri dan pemuda lain harus perang menghadapi sekutu Inggris pemenang Perang Dunia Kedua, Netherland Indies Cifil Adminitration (NICA). Tidak hanya itu, mereka mengerahkan tentara juga dari negara jajahannya (India/Pakistan). Semua diberi persenjataan yang lengkap dan canggih, serta dibantu oleh pesawat terbang yang memutahkan bom dari udara di atas kota medan pertempuran.

      Secara perhitungan akal, santri dan bangsa kita tidak akan menang menghadapi musuh yang sangat kuat itu. Tetapi berkat bacaan ‘takbir’ yang disuarakan berkali-kali oleh santri, serta niat mereka sangat ikhlas dan bersedia mati untuk mengangkat agama Allah di bumi nusantara ini, maka alhamdulillah pertempuran itu dimenangkan oleh bangsa kita, sehingga semua penjajah angkat kaki dari bumi yang indah dan penuh barakah ini.           

        Begitulah kegiatan K.H. Abbas dan santri untuk kemerdekaan Indonesia. Tokoh ini di samping pejuang kemerdekaan juga seorang pendidik santri yang kreatif. Pada tahun 1928 K.H. Abbas membuka marasah untuk santri yang inspirasinya diambil dari Pesantren Tebuireng Jombang. Madrasah itu disebut Madrasah Abna al-Wathan yang terdiri dari enam kelas, dengan kurikulum berjenjang. Enam kelas itu terdiri atas kelas-kelas Tahdiri, Shifir Awwal, Shifir Thani, Qismul Awwal, Qismul Tsani, dan Qismul Tsalis. Dengan munculnya madrasah itu, Buntet Pesantren semakin besar dan bersemarak. Semua kelas di awal jam pelajaran sambil menunggu guru, semua murid secara bersama-sama membaca nazham yang sudah diajarkan. Satu kelas membaca Nazham Aqidatul Awam, kelas lain membacakan Nazham Kharidatul Bahiyah, kelas lain lagi membacakan Nazham Jazariyah, kelas lainnya lagi membacakan Nazham ‘Imrithi dan lain sebagainya. Setelah 28 tahun madrasah hidup di Buntet Pesantren, maka di tahun 1946 K.H. Abbas Abdul Jamil wafat, dan dikuburkan di Pemakaman Buntet Pesantren.

       Untuk melayani kaum muslimin yang berfikir seperti itu, K.H. Anas ibn Abdul Jamil membangun pesantren di Blok Kilapat Desa Mertapada Kulon yang diberi nama Pesantren Sidamuliya. Pesantren ini tidak membuka madrasah, tetapi hanya pengajian kitab kuning dengan metoda sorogan atau metoda bandongan. Kompleks Pesantren Sidamuliya ini kelihatan sederhana karena hanya ada bangunan masjid, rumah kiyai dan bangunan pondok tiga kamar untuk santri.
                            
       Sementara tokoh Buntet yang perlu diuraikan dalam sejarah itu antara lain K.H. Mustahdi, K.H. Mustamid, K.H. Abdullah, K.H. Ahmad Zahid, dan beberapa ulama senior yang sudah wafat. Tokoh junior Buntet Pesantren yang sudah wafat juga dapat diuraikan seperlunya. Tokoh junior yang sudah wafat dan kenal penulis antara lain K.H. Izzuddin, K.H. Fuad Hasyim, dan K.H. Fahim Royandi. Sedangkan tokoh junior yang masih hidup lebih banyak lagi, di antara yang akrab dengan penulis adalah Drs. K.H. Hasanuddin Kriyani, dan Ny. Hj. Ani Yuliani bint Abdullah ibn Abbas. Tokoh ini akrab dengan istri penulis, Hj. Azzah Zumrud.

Share:

Sejarah Singkat Desa Tuk Karangsuwung dan Mbah Muqoyyim


Desa yang kami kunjungi untuk melakukan observasi adalah desa Tuk Karangsuwung. Nah, di bawah ini saya ingin membahas sedikit tentang desa Tuk Karangsuwung itu sendiri. Tuk Karangsuwung adalah desa di kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Sebelum masuk ke dalam wilayah Kecamatan Lemahabang, desa ini merupakan bagian dari Kecamatan Karangsembung, Kabupaten Cirebon. Tuk karangsuwung awalnya merupakan salah satu bagian atau dusun dari Desa Karangsuwung, Kecamatan Karangsembung. Warga setempat menyebutnya sebagai "cantilan" Karangsuwung. Sejak tahun 1985, Desa Karangsuwung dimekarkan, dan Tuk karangsuwung menjadi desa mandir, tapi masih termasuk Kecamatan Karangsembung. 

Secara tradisional, desa ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu Tuk Lor (bagian utara) dan Tuk Kidul (bagian selatan). Lintasan rel kereta api yang melintang dari timur ke barat kerap menjadi pembagi wilayah ini. Di perbatasan wilayah ini memang terdapat stasiun kereta api bernama Stasiun Sindanglaut. Desa ini tampil sebagai wilayah yang cukup religius. Hal ini tampak dari banyaknya rumah ibadah di desa ini. Terdapat dua masjid besar dan tak kurang ada 10 mushola yang tersebar di beberapa bagian wilayah yang tidak terlalu luas ini. Disebut masjid besar, karena kedua masjid ini digunakan dalam pelaksanaan ibadah sholat Jum’at.

Di dessa ini terdapat da buah situs makam keramat. Situs pertama adalah makam keramat Mbah Ardisela yang terdapat di sekitar Masjid Kyai Afadh. Menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari situs ini adalah mata air (Tuk) Muara Bengkeng itu. Kabarnya Mbah Ardisela (atau lengkapnya Kyai Raden Ardisela) merupakan kerabat Syech Syarif Hidayatulloh, salah seorang anggota Walisango dari Kesultanan Cirebon. Menurut cerita para orang tua, Mbah Ardisela mengasingkan diri dari kehidupan duniawi di keraton lalu menetap di desa ini untuk mengembangkan agama Isalam.

Adapun situs kedua adalah makam keramat Mbah Muqoyyim. Makam ini terdapat agak ke utara, tetapi masih di sebelah selatan rel kereta api. Bersama-sama Mbah Ardisela, Mbah Muqoyyim mengembangkan agama Islam di desa ini. Sebelum sampai di desa Tuk Karangsuwung, Mah Muqoyyim yang berasal dari Indramayu ini telah berkelana smpai ke Pulau Madura untuk berguru kepada Mbah Kholil Bangkalan.

                Selain itu juga karena sikap dasar politik Mbah Muqoyyim yang non-cooperative (tidak kerjasama) terhadap penjajah Belanda, karena penjajah secara politik saat itu sudah menguasai kesultanan Cirebon. Setelah meninggalkan Kesultanan Cirebon, maka didirikanlah lembaga pendidikan pesantren tahun 1750 di dusun Kedung Malang, Desa Buntet Cirebon. Untuk menghindari desakkan penjajah Belanda, Mbah Muqyyim selalu berpindah-pindah.

                Sebelum berada di blok Buntet (Desa Mertapada Kulon) seperti sekarang ini, setelah itu juga masih terus berpindah tempat ke persawahan Lemah Agung (masih daerah Cirebon), lantas ke daerah yang di sebut Tuk Karangsuwung. Mbah Muqoyyim sampai hijrah ke daerah Beji, Pemalang, Jawa Tengah, sebelum kembali ke daerah Buntet. Hal itu dilakukan karena hampir setiap hari tentara penjajah Belanda melakukan patroli ke daerah pesantren. Sehingga suasana pesantren menjadi mencekam, tapi para santri tetap giat belajar sambil terus begerilya bila malam hari tiba.

                Semuanya itu dijalani dengan tabah dan penuh harapan, sebab Mbah Muqoyyim selalu mendamping mereka. Sementara bimbingan Mbah Muqoyyim selalu mereka harapkan sebab beliau dikenal sebagai tokoh yang ahli tirakat (riyadlah) untuk kewaspadaan dan keselamatan bersama. Saat itu Mbah Muqoyyim lah peletak awal Pesantren Buntet, sudah berpikir besar untuk keselamatan umat islam dan bangsa. Karena itu pesantren rintisannya hingga saat ini masih mewarisi semangat tersebut. Sejak zaman pergerakkan kemerdekaan dan ketika para ulama mendirikan Nahdlatul Ulama, pesantren ini menjadi salah satu basis kekuatan NU di Jawa Barat.
Share:

Total Tayangan Halaman

Search This Blog