Kesempatan
kali saya Alifa Fadilatun Nafisa akan menceritakan sejarah singkat Buntet
pesantren,Mbah Muqoyyim meninggalkan lima orang putera-puteri, yaitu Kiyai
Muhajir, Nyai Sungeb, Nyi Raisah, Nyai Thayyibah, dan Nyai Khalifah. Semua
tidak dapat diceritakan dengan leluasa tetapi ada riwayat singkat, bahwa Nyai
Khalifah memiliki puteri bernama Nyai Aisyah. Tokoh ini awalnya dinikah oleh
Kiyai Jalalain ibn Muhammad Imam ibn Ardi Sela. (pernikahan tunggal buyut).
Tetapi tidak memiliki putera. Kiyai Jalalain menikah lagi dengan Nyai
Sharfiyah, dan dari pernikahan itu, lahir Kiyai Anwaruddin (Ki Kriyan), Kiyai
Kilir, Kiyai Abror, dan Kiyai Muntaha.
Aisyah bint Khalifah bint Muqoyyim nikah lagi dengan Raden Muta’ad
(1785-1852) ibn Raden Muhammad Muridin ibn Nashruddin, ibn Ali Pasya
(Sultan Gebang) keturunan Sunan Gunung Jati. Dari perniakahan itu lahir sepuluh
putera puteri, antara lain Nyai Rohilah (istri Ki Kriyan), Kiyai Shalih Zamzami
(pendiri Pesantren Benda-kerep), dan Kiyai Abdul Jamil (penerus kiyai Buntet
Pesantren). Tiga tokoh besar itu memiliki aktifitas yang berbeda, tetapi
memiliki maksud yang sama yaitu membina masyarakat dan mengembangkan agama
Islam.
K.H.Abdul Jamil yang berusia 30 an dinikahkan dengan
putri Kiyai Kriyan yang bernama Sa’diyah, dan tinggal di kompleks Kraton.
Karena puteri ini masih kecil, maka K.H. Abdul Jamil dinikahkan lagi dengan
Qari’ah bint K.H. Syathari (penghulu landrat Cirebon). Pernikahan K.H. Abdul
Jamil dengan Qariah melahirkan 4 putera, yaitu Abbas, Akyas, Anas dan Ilyas,
dan 4 puteri yaitu Yaqut, Mu’minah, Nadlrah, dan Zamrud. Sedang pernikahannya
dengan Sa’diyah bint Kiyai Kriyan, K.H. Abdul Jamil melahirkan 5 putra, yaitu
Syakirah, Mundah, Ahmad Zahid (ayah K.H. Izzuddin Buntet), Nyai Enci dan
Halimah.
Buntet Pesantren mengalami perkembangan yang berliku-liku
dari zaman Mbah Muqoyyim sampai zaman kemerekaan. Mbah Muqoyyim adalah pendiri
pesantren, tetapi tidak selamanya tinggal di Buntet, karena dikejar-kejar oleh
Belanda. Meskipun Mbah Muqoyyim wafat di Buntet, tetapi lembaga ini mengalami
fatrah yang lama. Apalagi putera pertama Mbah Muqoyyim sendiri yang bernama
Raden Muhajir tidak diketahui ceritanya. Maka Buntet Pesantren perkembangannya
ditata ulang oleh Kiyai Muta’ad (w. 1852) ibn Muridin ibn Ali Basya (Pangeran
Gebang). Sehubungan Raden Muta’ad menikah dengan Nyai Aisyah bint Khalifah bint
Muqayyim, maka dia termasuk keluarga besar Buntet Pesantren. Program Kiyai
Muta’ad selain pengamalan Thariqat Syatahriyah juga membentuk majlis ta’lim.
Dalam majlis itu Kiyai Muta’ad mengajarkan membaca al-Quran, dan mempelajari
beberapa masalah fiqhiyah. Pada waktu itu, baik ayat al-Quran atau
masalah-masalah fiqhiyah selalu diajarkan dengan memakai tulisan tangan. Begitu
itu karena cetakan al-Quran atau kitab agama belum banyak beredar di Cirebon.
Padahal dalam catatan sejarah, Ibrahim Mutafarriqa di Turki sudah mencetak
al-Quran dan beberapa kitab klasik (kitab kuning) sekitar tahun 1720 an. Begitu
juga pemerintahan Muhammad Ali di Mesir (1769-1849 M) sudah mencetak beberapa
judul Kitab Kuning. Karena itu, keperluan belajar al-Quran atau kitab kuning di
Buntet dan sekitarnya harus ditulis tangan. Dalam penglolaan Buntet Pesantren
seperti itu Kiyai Muta’ad bersama jamaahnya selalu mengamalkan Thariqat
Syathariyah untuk wirid sesudah shalat jama’ah maktubah. Berkat amalan itu,
Buntet Pesantren mulai hidup lagi, setelah tertata ulang. Kiyai Muta’ad wafat
dalam usia 67 tahun dan dikuburkan di Tuk Sindanglaut, berdekatan dengan kuburan
Mbah Muqayyim dan Mbah ArdiSela.
Sesudah Kiyai Muta’ad wafat, Buntet Pesantren dikelola oleh Kiyai Abdul Jamil
ibn Muta’ad. Pesantren pada masa itu berkembang lebih pesat, didukung oleh Haji
Ali dari Kanggraksan Cirebon mewaqafkan tanah dan dibangunkannya sebuah masjid
di atasnya. Tidak hanya itu tetapi di sekitar masjid, disediakan tanah yang
disiapkan untuk dibangun pondok pesantren. Maka pada langkah berikutnya Kiyai
Abdul Jamil yang dibantu oleh sanak saudara dan masyarakat itu mulai membangun
pondok untuk menampung santri yang berdatangan dari luar daerah. Masyarakat
tahu bahwa K.H. Abdul Jamil memiliki suara yang bagus dalam membaca al-Quran,
maka santri Buntet waktu itu sering disebut ahli qiraat (al-Quran). Pengajian
di Buntet Pesantren bukan hanya Qiraat al-Quran, tetapi juga kitab yang
membahas ilmu agama. Tokoh-tokoh yang membantu pengajian itu, antara lain K.H.
Abdul Mun’im, K.H. Abdul Mu’thi, Kiyai Tarmidzi dan lain-lain. Tidak hanya itu,
Kiyai Abdul Jamil bersama masyarakat membangun jalan dan jembatan yang
menghubungkan pondok pesantren dengan masyarakat.
Bahwa Kiyai Abdul Jamil sepulangnya dari Makkah dipanggil Haji Den Jamil (Raden
Abdul Jamil) dan berhasil menghimpun para kiyai di lingkungan keluarganya,
haji, saudagar/pedagang dan lain-lain untuk membangun dan menata kembali sarana
fisik serta aktivitas pesantren. Pada masa itu, santri Buntet Pesantren
putera-puteri mencapai 700 yang datang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Sumatera, Sulawesi, dan Singapore, kata buku itu. Setiap bulan puasa,
Pesantren Buntet dikerumuni para santri dari tanah Jawa dan luar Jawa yang
mengaji pasaran. Dengan demikian masyhurlah nama Syaikh Abdul Jamil dan
Pesantren di Buntet Astanajapura Cirebon.
Untuk mengantisipasi aktifitas lembaga itu K,H. Abdul Jamil
bersama ulama lain mengambil beberapa langkah, yaitu :
(1) Fatwa
Ciremai
a).
Mengharamkan para santri menjadi pegawai Belanda
b).
Mengharamkan bangsa kita berperilaku dan berpakaian seperti Belanda dan bergaya
priyayi seperti orang Islam yang bersikap cooperation dengan penjajah Belanda
c)
Pembentukan budaya santri yang diisi dengan amalan thariqat
(2)
Mengadakan pengajian di beberapa tempat untuk menumbuhkan perasaan jihad fi
sabilillah.
(3)
Memutuskan :
a) Membentuk
santri agar bersikap mandiri dan tidak bergantung pada orang lain
b).
Menumbuhkan pesaraan nasionalis dengan doktrin hubb al-wathan min al-iman.
c).
Mengadakan latihan fisik, bela diri.
(4)
Mengadakan shilaturrahmi kepada kiyai/ulama terutama mereka yang pejuang
kemeredekaan.
(5)
Gerakan Riyadlah
(6)
Mengorganisir pengamal thariqat, untuk ikut berjuang dan membantu berdirinya
negara di nusantara ini.
K.H. Abdul Jamil wafat pada pagi Shubuh hari Selasa
tanggal 23 Rabi’ul Tsani 1339 H. Atau tahun 1919 M, dan dikuburkan di Pesarean
Buntet Pesantren.
Setelah K.H. Abdul Jamil wafat, Buntet Pesantren diasuh oleh para putera yang
dipimpin oleh Raden Abbas ibn Abdul Jamil. Pada masa kecil, Raden Abbas bersama
adik-adiknya diasuh dan dididik oleh ayahnya. Setelah menjelang dewasa, Den
Abbas dikirimkan ke Pesantren di Jatisari Weru Plered yang diasuh oleh K.H.
Nasuha ibn Zayadi. (Ulama ini ditulis dalam artikel tersendiri). Dalam
pesantren ini Raden Abbas mengkhatamkan kitab fiqh dan tawhid, antara
lain Fathul Mu’in. Dalam
tahun itu pula Raden Abbas belajar juga pada K.H. Hasan di Sukunsari Weru
Plered. Kemudian Den Abbas pindah ke pesantren Giren Tegal untuk pelajar ilmu
tauhid pada ulama sepuh, K.H. Ubaidah. Kemudian Den Abbas meneruskan belajar
ilmu hadits dan ilmu tafsir al-Quran pada K.H. Hasyim Asy’ari di pesantren
Tebuireng Jombang.
Sepulangnya dari tafaqquh fi al-diin, Raden Abbas mulai mengelola
Pesantren Buntet dan menikah pertama dengan Nyai Hafizhoh. Setelah lahir putera
pertama, Raden Abbas berangkat ke Makkah untuk ibadah haji dan mencari ilmu.
Dalam kisah ini, Raden Abbas bersama Gus Abdul Wahhab Hasbullah dari Jombang
berjumpa dan mengambil barakah dari
ulama kharismatik, K.H. Mahfuzh ibn Abdillah ibn Abdul Mannan dari Pesantren
Termas Pacitan yang mukim di Makkah. Setelah pulang dan menetap di Buntet, K.H.
Abbas pernikahannya dengan Nyai Hafizhoh melahirkan 4 orang putera, yaitu Kiyai
Mustahdi, Kiyai Abdul Razak, Kiyai Mustamid, dan Nyai Sumaryam. Sedang
pernikahannya dengan Nyai Lanah, K.H. Abbas melahirkan enam orang lagi, yaitu
Raden Abdullah ibn Abbas, Nyai Qismatul Maula, Nyai Sukaenah, Nyai Maimunah,
Raden Nahdluddin, dan Nyai Munawwarah.
Meskipun penampilan K.H. Abbas sopan santun, lemah lembut, dan berakhlak mulia,
tetapi sikapnya terhadap Belanda keras sekali dan tidak mau kompromi. Semua
santri dididik dengan tekun agar mereka anti penjajah, dan berusaha agar
Belanda, Jepang, dan semua penjajah bubar dari tanah nusantara tercinta ini.
K.H. Abbas juga mambentuk dan memimpin Hizbullah di daerah Cirebon bagian
timur. Dia sering melatih santri untuk bela diri, dan mereka disiapkan untuk
melawan penjajah jika terjadi pertempuran.
Beberapa cerita tentang K.H. Abbas yang bersikap anti
penjajah itu luas sekali tetapi andil yang besar bagi kemerdekaan Indonesia
adalah dia bersama beberapa tokoh dari Cirebon mengikuti Resolusi Jihad K.H.
Hasyim Asy’ari. Pada tanggal 22 Oktober 1945 para ulama dan santri se
Jawa-Madura kumpul di Surabaya untuk merumuskan Resoluis Jihad. Waktu itu para
kiyai dan santri sudah berkumpul, maka utusan dari Termas Pacitan usul agar
rapat segera dimulai. K.H. Hasyim Asy’ari menjawab : Nanti sebentar lagi
teman-teman dari Cirebon akan datang. Mereka adalah K.H. Abbas Buntet, KH. Amin
Babakan Ciwaringin, K.H.A. Syathari Arjawinangun, K.H. Syamsuri Walantara, dan
empat orang lagi yang penulis belum dapatkan nama-namanya. Apa isi Resolusi
Jihad itu? (Buka Google dengan key word Resolusi
Jihad K.H. Hasyim Asy’ari) dan baca semua artikel yang mengiringi tulisan
INSISTS itu. Inti Resolusi Jihad adalah kesepakatan para kiyai dan santri untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dan segalanya diatur oleh
bangsa Indonesia sendiri.
Sementara Belanda dan sekutu Barat tidak senang
munculnya kemerdekaan negara-negara jajahan seperti itu. Mereka menggalakkan
perang dengan mengerahkan pasukan tempur yang kuat sekali untuk menghabisi
kekuatan bangsa Indonesia. Maka terjadilah perang 10 November 1945
itu. Bahwa perang ini meskipun waktunya tidak lama, tetapi beban santri
dan komunitas ahli thariqat menilai lebih berat dari pada Perang Kedongdong
(1802-1806), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Imam Bonjol (1831-1838),
Perang Tengku Umar di Aceh (1873-1908), dan perang-perang lokal lainnya. Semua
perang-perang tadi, santri dan bangsa kita hanya menghadapi Belanda, sedang
perang 10 November 1945 santri dan pemuda lain harus perang menghadapi sekutu
Inggris pemenang Perang Dunia Kedua, Netherland
Indies Cifil Adminitration (NICA). Tidak hanya itu, mereka
mengerahkan tentara juga dari negara jajahannya (India/Pakistan). Semua diberi
persenjataan yang lengkap dan canggih, serta dibantu oleh pesawat terbang yang
memutahkan bom dari udara di atas kota medan pertempuran.
Secara perhitungan akal, santri dan bangsa kita tidak akan menang menghadapi
musuh yang sangat kuat itu. Tetapi berkat bacaan ‘takbir’ yang disuarakan
berkali-kali oleh santri, serta niat mereka sangat ikhlas dan bersedia mati
untuk mengangkat agama Allah di bumi nusantara ini, maka alhamdulillah
pertempuran itu dimenangkan oleh bangsa kita, sehingga semua penjajah angkat
kaki dari bumi yang indah dan penuh barakah ini.
Begitulah kegiatan K.H. Abbas dan santri untuk kemerdekaan Indonesia. Tokoh ini
di samping pejuang kemerdekaan juga seorang pendidik santri yang kreatif. Pada
tahun 1928 K.H. Abbas membuka marasah untuk santri yang inspirasinya diambil
dari Pesantren Tebuireng Jombang. Madrasah itu disebut Madrasah Abna al-Wathan
yang terdiri dari enam kelas, dengan kurikulum berjenjang. Enam kelas itu
terdiri atas kelas-kelas Tahdiri, Shifir Awwal, Shifir Thani, Qismul Awwal,
Qismul Tsani, dan Qismul Tsalis. Dengan munculnya madrasah itu, Buntet
Pesantren semakin besar dan bersemarak. Semua kelas di awal jam pelajaran
sambil menunggu guru, semua murid secara bersama-sama membaca nazham yang sudah
diajarkan. Satu kelas membaca Nazham
Aqidatul Awam,
kelas lain membacakan Nazham
Kharidatul Bahiyah, kelas lain lagi membacakan Nazham Jazariyah, kelas lainnya
lagi membacakan Nazham
‘Imrithi dan lain sebagainya. Setelah 28 tahun madrasah hidup
di Buntet Pesantren, maka di tahun 1946 K.H. Abbas Abdul Jamil wafat, dan
dikuburkan di Pemakaman Buntet Pesantren.
Untuk melayani kaum muslimin yang berfikir seperti itu, K.H. Anas ibn
Abdul Jamil membangun pesantren di Blok Kilapat Desa Mertapada Kulon yang
diberi nama Pesantren Sidamuliya. Pesantren ini tidak membuka madrasah, tetapi
hanya pengajian kitab kuning dengan metoda sorogan atau metoda bandongan.
Kompleks Pesantren Sidamuliya ini kelihatan sederhana karena hanya ada bangunan
masjid, rumah kiyai dan bangunan pondok tiga kamar untuk santri.
Sementara tokoh Buntet yang perlu diuraikan dalam sejarah itu antara lain K.H.
Mustahdi, K.H. Mustamid, K.H. Abdullah, K.H. Ahmad Zahid, dan beberapa ulama
senior yang sudah wafat. Tokoh junior Buntet Pesantren yang sudah wafat juga
dapat diuraikan seperlunya. Tokoh junior yang sudah wafat dan kenal penulis
antara lain K.H. Izzuddin, K.H. Fuad Hasyim, dan K.H. Fahim Royandi. Sedangkan
tokoh junior yang masih hidup lebih banyak lagi, di antara yang akrab dengan
penulis adalah Drs. K.H. Hasanuddin Kriyani, dan Ny. Hj. Ani Yuliani bint
Abdullah ibn Abbas. Tokoh ini akrab dengan istri penulis, Hj. Azzah Zumrud.